Menurut Parlemen Eropa (2020), kurang dari setengah pakaian bekas dikumpulkan untuk digunakan kembali atau didaur ulang, dan hanya 1% pakaian bekas yang didaur ulang menjadi pakaian baru.
Kesenjangan Geografis dalam berpakaian
Saat industri pakaian berjuang mengatasi reputasinya sebagai salah satu pencemar terbesar di dunia, banyak perusahaan beralih ke kebijakan ekonomi sirkular untuk mengurangi limbah. Inisiatif ini, mulai dari perbaikan pakaian hingga program penjualan kembali dan daur ulang, bertujuan untuk memperpanjang siklus hidup produk dan mengalihkan tekstil dari tempat pembuangan sampah.
Namun, para peneliti yang meneliti 17 perusahaan pakaian olahraga “ramah lingkungan” di Eropa dan AS telah menemukan kelemahan kritis dalam upaya keberlanjutan ini. Meskipun banyak merek yang menjual secara daring di seluruh dunia, “Jaringan Pengurangan Limbah” mereka – sistem yang dirancang untuk menangani produk yang dikembalikan atau didaur ulang – sering kali terbatas pada skala lokal, regional, atau nasional.
Kesenjangan antara penjualan global dan jaringan pengembalian lokal ini menciptakan hambatan signifikan bagi pelanggan internasional yang ingin berpartisipasi dalam program ramah lingkungan ini. Biaya lingkungan untuk mengirimkan barang jarak jauh untuk didaur ulang atau diperbaiki dapat lebih besar daripada manfaat yang diharapkan, sehingga menimbulkan paradoks bagi konsumen dan merek yang peduli terhadap keberlanjutan.
Menjembatani Kesenjangan: Solusi Potensial
Untuk mengatasi tantangan ini, para ahli menyarankan beberapa solusi potensial. Perusahaan pakaian olahraga dapat bermitra dengan platform penjualan kembali populer seperti eBay, Vinted, atau Depop untuk memperluas jangkauan inisiatif sirkular mereka. Selain itu, menyediakan panduan perbaikan terperinci di situs web dapat memberdayakan pelanggan untuk memperpanjang siklus hidup produk terlepas dari lokasi mereka.
Inisiatif yang didorong oleh konsumen, seperti tantangan No New Clothes dari Remake , yang mendorong individu untuk menahan diri dari membeli pakaian baru – atau hanya membeli pakaian bekas – untuk jangka waktu tertentu, juga semakin diminati. Tantangan ini menggarisbawahi meningkatnya kesadaran di kalangan konsumen akan perlunya mengurangi konsumsi berlebihan dan dampaknya terhadap lingkungan, sejalan dengan upaya yang lebih luas untuk membuat industri mode lebih berkelanjutan.
Namun, pengurangan limbah global yang benar-benar efektif akan memerlukan solusi yang lebih komprehensif. Para peneliti menekankan perlunya investasi dalam sistem pengelolaan limbah yang memastikan sebagian besar pakaian didaur ulang daripada dibuang ke tempat pembuangan akhir – sebuah tujuan yang mungkin memerlukan dukungan pemerintah.
Karena industri mode terus bergulat dengan dampak lingkungannya, mengatasi hambatan geografis ini akan menjadi krusial bagi perusahaan yang ingin membuat langkah signifikan menuju keberlanjutan. Tantangannya terletak pada pengembangan inisiatif ekonomi sirkular yang tidak mengenal batas seperti pasar global yang mereka layani.